12 Desember 2016

Perasaan yang Terpendam

Posted by Kayuya on 14.35.00 with 5 comments

Perasaan yang Terpendam
Oleh : Kayuya

picture by http://2.bp.blogspot.com/




Langit cerah saat pertama kali kita bertemu.
Hujan saat kita berpisah.
Bagaimanakah langit saat kita bertemu lagi nanti?
Cerahkah?
Atau mungkin hujan?
Apapun itu, aku berharap aku masih bisa melihatmu lagi nanti.
Walau hanya sehari,
satu jam,
satu menit,
atau bahkan hanya satu detik.
Karna aku menyukaimu.


***
Mei 2016

Pagi itu adalah pagi terakhir di mana aku bisa melihat dia. Langit kala itu diselimuti awan tebal dan gelap. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam, dipadu dengan celana jeans berwarna senada. Ia terlihat sangat dewasa dengan gayanya, dan jantungku kembali berdegup kencang.
Aku tak pernah lupa saat pertama kali aku bertemu dengannya. Serasa baru kemarin memori itu terjadi. Bahkan wangi aroma pagi saat itu, masih segar dalam ingatanku. Dia berhasil membuatku …. Emmmm, Jatuh cinta kah? Entahlah.
Perasaan aneh ini tentu bukan hanya aku yang merasakan, ada siswi lain yang juga menyukainya. Dan orang yang kumaksud adalah teman sekelasku sendiri. Dia bahkan terang-terangan mengatakan suka pada cowok itu, dia berhasil membuatku hanya menjadi pengagum rahasia yang bersembunyi dibalik kekagumanku sendiri. Itu aku lakukan semata-mata untuk menjaga perasaan seorang teman. Setelah kupikir-pikir, apa yang aku lakukan selama tiga tahun ini tidaklah salah.
“Adisti....” Kudengar suara seorang perempuan memanggil namaku. Aku pun menoleh dan mendapati Rifka sedang melambaikan tangan sambil tersenyum menghampiriku.
“Kupikir hari ini kamu akan datang dengan seragam kebesaranmu itu.” Sahut Rifka diselingi tawanya yang khas.
“Hanya mengubah penampilan, sebentar lagi kan kita jadi mahasiswi.”
“Rencananya mau ngambil jurusan apa?”
“Aku mau jadi guru.” jawabku lugas.
“Aduh, aku mundur kalau harus jadi guru.”
“Kamu sendiri mau ngambil apa?” tanyaku penasaran.
“Psikolog, dong.” balasnya penuh percaya diri.
Percaya diri adalah salah satu sifat Rifka yang membuatku kagum. Dengan sifat yang dimilikinya itu, dia mudah akrab dengan siapa saja. Tidak seperti aku yang .... Ah, sudahlah. Aku tak ingin mengingat nasib buruk yang menimpaku selama tiga tahun ini.
Disela-sela perbincanganku dengan Rifka, aku sesekali mencuri padang ke arah bangku yang berada dekat pintu masuk ruang tata usaha hanya untuk memastikan cowok idamanku masih duduk di sana atau tidak.
‘Ternyata dia sudah pergi.’ batinku. Aku kembali memperhatikan Rifka yang sedari tadi mengoceh. Ocehannya hanya sebatas lewat menyapa indra, aku tidak benar-benar memperhatikannya. Sesekali aku ikut tertawa walau sebenarnya aku sendiri tidak paham sama sekali mengenai apa yang ia bicarakan.

***
November 2013
Aku duduk termenung seorang diri di depan pintu kelas, hal yang sering aku lakukan saat suasana kelas sedang berisik. Aku memang orang yang tertutup dan hanya akrab dengan beberapa orang saja di kelas. Bukan karna aku tidak ingin bergaul, hanya saja gaya mereka yang centil dan modis tidak sesuai denganku.
“Hei!!!”
Aku menoleh ke asal suara yang baru saja menyapa indraku. Seorang cowok sedang berdiri di sampingku sambil tersenyum. Entah sejak kapan dia ada di sana, aku bahkan tidak menyadari kedatangannya. Ia berhasil membuyarkan lamunanku. Aku tak bersuara, hanya menatapnya tajam.
“Bisa minta tolong panggilkan Hilwa?” Ia kembali bersuara.
“Oh, sebentar ya!” Jawabku singkat.
Aku beranjak masuk ke dalam kelas lalu kembali dengan seorang cewek bertubuh gemuk yang kusebut Hilwa. Sekilas kulihat cowok itu tersenyum kepada Hilwa, dan begitu pun sebaliknya. Aku kembali duduk di tempat tadi sementara Hilwa mengambil tempat duduk di sabelahku. Cowok itu tetap berdiri di tempatnya, di samping Hilwa. Mereka berbincang cukup panjang sambil sesekali tertawa cekikikan. Aku tidak begitu menyimak pembicaraan mereka, yang kudengar jelas hanya suara tawa. Sepertinya mereka sangat akrab.
“Disti, mau masuk?” kata Hilwa menepuk bahuku.
“Eh...?” aku kaget dibuatnya. “... tidak, duluan saja. Aku tunggu Rifka.”
Hilwa tersenyum padaku lalu kembali ke kelas. Aku melirik ke arah gerbang, namun sosok yang kutunggu belum juga datang. Sampai bel masuk berbunyi, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke kelas saja.

***
Seperti itulah pertemuan pertamanku dengan dia. Tidak ada yang istimewa. Justru hal paling mengesankan yang berhasil membuatku sering mencuri pandang memperhatikannya terjadi setelah hari itu. Kejadian yang aneh menurutku, tapi tak bisa kumungkiri bahwa pertemuan demi pertemuanku dengannya telah berhasil mengukir kesan yang sulit untuk kulupakan.

***
Semester baru sudah berjalan selama beberapa minggu. Proses belajar mengajar sudah normal seperti biasanya, namun masih ada beberapa guru yang berhalangan masuk karena alasan tertentu. Teman-temanku tetap ribut seperti biasa. Sorak sorai dan tawa dari orang-orang di dalam kelas sudah menjadi hal yang biasa bagiku.
“Huft. Panas sekali ya hari ini....” Kata Emi, teman sebangkuku sambil mengibas-ibaskan topi seragam SMA-nya ke wajah. “... kamu tidak panas, Dis?” tanyanya lagi, dan kubalas dengan gelengan pelan diselingi senyum tipis.
Kulihat cowok itu lagi sedang berdiri di depan pintu kelas. Kuperhatian gerak-geriknya seperti sedang mencari seseorang. Sedetik kemudian matanya melihat ke arahku. Dia tersenyum dan berkata “Hilwa ada?”
“Hilwa!!! Ada yang cari kamu, tuh.” Aku mencoba meneriaki Hilwa yang duduk tiga deret meja dibelakangku. Pagi itu aku merasa malas beranjak dari dudukku.
“Cieeee, Hilwa.” Sorak semua orang yang ada di dalam kelas. Hilwa tersipu malu menghapiri Cowok yang sampai saat itu belum ku ketahui namanya.
“Siapa tuh, Wa?” tanya Emi tersenyum penuh arti.
“Apaan, sih? Dia sepupuku.” Kata Hilwa masih tersipu.
“Serius? Cakep ya.” Rifka menimpali.
“Naksir, ya?” Ledekku pada Rifka yang dibalas dengan senyum malu, menyiratkan sebuah perasaan yang tersembunyi di baliknya.

***
Beberapa kali tanpa sengaja aku berpapasan dengannya di jam istirahat, dan dia selalu tertawa kecil saat melihatku. Awalnya kufikir dia orang yang aneh, adakah hal lucu dariku sampai ia tidak bisa menahan tawanya? Tapi entah pada pertemuan keberapa aku mulai menyukai cara dia mengalihkan pandangan dariku. Itu terkesan sangat manis, saat itu aku menyukai cara ia tertawa.

***
Kembali di satu siang pada hari senin. Saat itu jam pelajaran terakhir sedang kosong. Aku dan beberapa teman tetap berada di kelas, sementara sebagian lain memilih ke kantin untuk mengisi perut yang lapar. Jam istirahat tadi memang tidak ada yang ke kantin, semuanya sibuk menulis ulang soal dan jawaban fisika sebanyak sepuluh kali, itu hukuman yang diberikan Pak Dayat kepada kami karena nilai ulangan harian di kelasku jauh di bawah rata-rata.
Aku sedang membaca sebuah novel yang baru saja kupinjam dari perpustakaan sekolah. Namun bacaanku terhenti saat Widi menghampiriku dengan senyum bahagia.
“Eh, Disti...!” panggil Widi antusias “... kamu tau ndak? tadi aku ketemu sama cowok, manis banget orangnya. Dia senyum ke aku.”
Kalimat yang dilontarkan Widi berhasil mengalihkan perhatian semua orang yang masih berada di kelas. Aku mulai penasaran dengan cowok manis yang dikatakan Widi. Ia pun mengintip dari balik pintu, “Eh, itu orangnya.” Gumamnya sembari tersipu malu.
Ternyata Cowok yang dimaksud Widi adalah cowok yang kukagumi akhir-akhir ini, namun sampai sekarang aku tak kunjung tahu siapa namanya. Entah kenapa dadaku tiba-tiba terasa tidak nyaman, aku tidak tau alasannya. Walau begitu aku tetap menampakkan raut wajah bahagia.
“Oh, dia sepupunya Hilwa.” Kataku dengan nada sedatar mungkin.
“Namanya Siapa?” Tanya Widi.
“Sampai sekarang aku sendiri tidak tau namanya dia siapa.” Aku kembali ke kursiku dan melanjutkan membaca novel yang sempat terhenti karena ulah Widi.
“Kira-kira namanya siapa, ya?” Tanya Widi lagi.
Ia terus mengoceh tentang betapa manisnya senyum cowok itu. Sampai Hilwa kembali dari acara makan siangnya dan menghampiriku.
“Seriusnya yang lagi baca novel. Eh, pinjam buku catatan geografi dong, aku ketinggalan catatan.”
Aku menghentikan membaca novel “Wa, nama sepupu kamu yang cowok itu siapa? Yang sering datang ke sini itu, loh.” tanyaku spontan.
“Oh, si Albie?” Jawab Hilwa agak ragu.
“Iya. tuh si Widi baru aja dibikin terpesona sama dia.”
“Eeh ... Serius?”
Sejak hari itu, Widi, Hilwa dan aku sering membicarakan tentang cowok itu. Dari situlah aku tahu bahwa ia bernama Albie. Hilwa dengan gamblang membeberkan segala hal tentang Albie, hingga keburukan terburuk yang ia miliki.

***
Di jam pulang sekolah, Albie tanpa sengaja lewat di depan aku dan Widi yang sedang menunggu angkot. Widi histeris, ia benar-benar menyukai cowok itu. Cowok yang membuat aku tidak bisa membencinya, walau setiap melihatku ia seolah sedang menertawaknku. Dan dia juga yang membuat Widi begitu antusias hari ini.
Aku berusaha untuk berfikir jernih, mengambil kesimpulan bahwa perasan ini hanya perasaan kagum padanya. Ya, aku hanya kagum pada sosoknya yang ramah pada semua orang. Aku memaksakan senyum saat Widi dan yang lain tersenyum penuh arti melihat Albie.
Walaupun aku berusaha meyakinkan bahwa perasaanku ini hanyalah rasa kagum semata, tapi tetap saja aku tidak bisa memungkiri bahwa aku sedikit cemburu. Pilihanku cukup menjadi pengagum Albie. Widi adalah Widi, dan aku adalah aku. Jika cara Widi mengagumi seseorang dengan mengutarakannya secara gamblang pada orang banyak, maka aku cukup memendam dan menikmati rasa ini sendirian. Tidak perlu seluruh dunia tahu, cukup tuhan yang tahu. Aku teringat kalimat yang banyak diucapkan orang tentang cinta tak harus memiliki. Lagipula kita masih SMA, perjalanan menggapai impian masih sangat panjang. Untuk perasaan yang kupunya ini, biarlah menjadi pemanis masa remajaku.

***
Mei 2016

Kulihat Rifka masih sibuk dengan berkas-berkas yang dia perlukan untuk lanjut ke Universitas. Dia sangat yakin bisa lolos. Beberapa teman yang seangkatan denganku juga melakukan hal yang sama. Masa penuh canda dan tawa sudah selesai, selanjutnya adalah masa yang penuh dengan perjuangan.
“Disti, kayaknya sudah selesai semua nih berkas-berkasku.” Rifka memasukkan map berisi berkas penting ke dalam tasnya.
“Yakin? sudah beres semua?”
“Sudah, aku harus cepat-cepat pulang, soalnya sore ini sudah harus pergi ke Surabaya.”
“Duh..., semangatnya. Semoga impianmu terwujud, ya." Kataku tersenyum.
“Kamu juga.”
Rifka memelukku sebagai tanda perpisahan. Aku pun melakukan hal yang sama padanya.
“Dah, Disti. Jangan putus kontak sama aku, ya.” Rifka melambaikan tangan ke arahku dan berlalu pergi. Antusiasnya membuatku turut bersemangat meraih mimpi.

***
Waktu telah menunjukkan pukul 11.21. Aku pun merapikan berkas-berkasku yang baru saja selesai dilegalisir. Dari kejauhan ku perhatikan lagi sosok Albie yang sedari pagi sibuk kesana-kemari. 'Mungkin ini kali terakhir aku bisa melihat dia' gumamku dalam hati.
Aku meninggalkan cinta pertamaku disini, di sekolah ini. Bersama dengan rintik hujan yang jatuh perlahan. Cinta pertamaku yang tak pernah diketahui oleh siapapun. Perasaam yang selama ini kututup rapat-rapat. Selamat tinggal cinta pertamaku, terima kasih karena telah menghiasi kisah SMA-ku yang suram. Kau adalah kenangan yang mungkin tidak bisa kulupakan selamanya. Karena adanya dirimu, kisahku menjadi sedikit berwarna.
~END~
Categories:

5 komentar:

  1. Aku suka banget sama yang setiap penulis tuangkan��hanyut n dalem banget����

    BalasHapus
  2. Aku suka banget dengan apa yang dituangkan penulis disetiap ceritanya ๐Ÿ˜ญhanyut dan menjiwai sekali๐Ÿ‘๐Ÿ‘

    BalasHapus
  3. Ikan hiu makan pepaya, i love you teh Yuya ๐Ÿ˜

    BalasHapus