Perasaan yang Terpendam
Oleh : Kayuya
picture by http://2.bp.blogspot.com/
Langit
cerah saat pertama kali kita bertemu.
Hujan
saat kita berpisah.
Bagaimanakah
langit saat kita bertemu lagi nanti?
Cerahkah?
Atau
mungkin hujan?
Apapun
itu, aku berharap aku masih bisa melihatmu lagi nanti.
Walau
hanya sehari,
satu
jam,
satu
menit,
atau
bahkan hanya satu detik.
Karna
aku menyukaimu.
***
Mei
2016
Pagi itu adalah pagi terakhir di mana aku
bisa melihat dia. Langit kala itu diselimuti awan tebal dan gelap. Dia
mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam, dipadu dengan celana jeans
berwarna senada. Ia terlihat sangat dewasa dengan gayanya, dan jantungku
kembali berdegup kencang.
Aku tak pernah lupa saat
pertama kali aku bertemu dengannya. Serasa baru kemarin memori itu terjadi. Bahkan
wangi aroma pagi saat itu, masih segar dalam ingatanku. Dia berhasil membuatku …. Emmmm, Jatuh
cinta kah? Entahlah.
Perasaan aneh ini tentu
bukan hanya aku yang merasakan, ada siswi lain yang juga menyukainya. Dan orang
yang kumaksud adalah teman sekelasku sendiri. Dia bahkan terang-terangan
mengatakan suka pada cowok itu, dia berhasil membuatku hanya menjadi pengagum
rahasia yang bersembunyi dibalik kekagumanku sendiri. Itu aku lakukan
semata-mata untuk menjaga perasaan seorang teman. Setelah kupikir-pikir, apa
yang aku lakukan selama tiga tahun ini tidaklah salah.
“Adisti....” Kudengar
suara seorang perempuan memanggil namaku. Aku pun menoleh dan mendapati Rifka
sedang melambaikan tangan sambil tersenyum menghampiriku.
“Kupikir hari ini kamu akan
datang dengan seragam kebesaranmu itu.” Sahut Rifka diselingi tawanya yang khas.
“Hanya mengubah penampilan,
sebentar lagi kan kita jadi mahasiswi.”
“Rencananya mau ngambil
jurusan apa?”
“Aku mau jadi guru.” jawabku lugas.
“Aduh, aku mundur kalau
harus jadi guru.”
“Kamu sendiri mau ngambil
apa?” tanyaku penasaran.
“Psikolog, dong.” balasnya penuh percaya diri.
Percaya diri adalah salah
satu sifat Rifka yang membuatku kagum. Dengan sifat yang dimilikinya itu, dia
mudah akrab dengan siapa saja. Tidak seperti aku yang .... Ah, sudahlah. Aku
tak ingin mengingat nasib buruk yang menimpaku selama tiga tahun ini.
Disela-sela perbincanganku
dengan Rifka, aku sesekali mencuri padang ke arah bangku yang berada dekat
pintu masuk ruang tata usaha hanya untuk memastikan cowok idamanku masih duduk
di sana atau tidak.
‘Ternyata dia sudah
pergi.’ batinku. Aku kembali memperhatikan Rifka yang sedari tadi mengoceh.
Ocehannya hanya sebatas lewat menyapa indra, aku tidak benar-benar
memperhatikannya. Sesekali aku ikut tertawa walau sebenarnya aku sendiri tidak
paham sama sekali mengenai apa yang ia bicarakan.
***
November
2013
Aku duduk termenung seorang diri di depan
pintu kelas, hal yang sering aku lakukan saat suasana kelas sedang berisik. Aku memang orang yang
tertutup dan hanya akrab dengan beberapa orang saja di kelas. Bukan karna aku tidak
ingin bergaul, hanya saja gaya mereka yang centil dan modis tidak sesuai
denganku.
“Hei!!!”
Aku menoleh ke asal suara
yang baru saja menyapa indraku. Seorang cowok sedang berdiri di sampingku sambil
tersenyum. Entah sejak kapan dia ada di sana, aku bahkan tidak menyadari kedatangannya. Ia
berhasil membuyarkan lamunanku. Aku tak bersuara, hanya menatapnya tajam.
“Bisa minta tolong panggilkan
Hilwa?” Ia kembali bersuara.
“Oh, sebentar ya!”
Jawabku singkat.
Aku beranjak masuk ke dalam
kelas lalu kembali dengan seorang cewek bertubuh gemuk yang kusebut Hilwa.
Sekilas kulihat cowok itu tersenyum kepada Hilwa, dan begitu pun sebaliknya.
Aku kembali duduk di tempat tadi sementara Hilwa mengambil tempat duduk di sabelahku. Cowok itu
tetap berdiri di tempatnya, di samping Hilwa. Mereka berbincang cukup panjang
sambil sesekali tertawa cekikikan. Aku tidak begitu menyimak pembicaraan
mereka, yang kudengar jelas hanya suara tawa. Sepertinya mereka sangat akrab.
“Disti, mau masuk?” kata
Hilwa menepuk bahuku.
“Eh...?” aku kaget dibuatnya. “... tidak, duluan saja. Aku tunggu Rifka.”
Hilwa tersenyum padaku
lalu kembali ke kelas. Aku melirik ke arah gerbang, namun sosok yang kutunggu
belum juga datang. Sampai bel masuk berbunyi, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke
kelas saja.
***
Seperti itulah pertemuan pertamanku dengan
dia. Tidak ada yang istimewa. Justru hal paling mengesankan yang berhasil
membuatku sering mencuri pandang memperhatikannya terjadi setelah hari itu.
Kejadian yang aneh menurutku, tapi tak bisa kumungkiri bahwa pertemuan demi pertemuanku dengannya telah berhasil mengukir kesan yang sulit untuk kulupakan.
***
Semester baru sudah berjalan selama
beberapa minggu. Proses belajar mengajar sudah normal seperti biasanya, namun
masih ada beberapa guru yang berhalangan masuk karena alasan tertentu.
Teman-temanku tetap ribut seperti biasa. Sorak sorai dan tawa dari orang-orang
di dalam kelas sudah menjadi hal yang biasa bagiku.
“Huft. Panas sekali ya
hari ini....” Kata Emi, teman sebangkuku sambil mengibas-ibaskan topi seragam
SMA-nya ke wajah. “... kamu tidak panas, Dis?” tanyanya lagi, dan kubalas dengan
gelengan pelan diselingi senyum tipis.
Kulihat cowok itu lagi sedang berdiri di depan pintu kelas. Kuperhatian gerak-geriknya seperti sedang mencari
seseorang. Sedetik kemudian matanya melihat ke arahku. Dia tersenyum dan
berkata “Hilwa ada?”
“Hilwa!!! Ada yang cari
kamu, tuh.” Aku mencoba meneriaki Hilwa yang duduk tiga deret meja dibelakangku. Pagi itu aku merasa malas beranjak dari dudukku.
“Cieeee, Hilwa.” Sorak
semua orang yang ada di dalam kelas. Hilwa tersipu malu menghapiri Cowok yang
sampai saat itu belum ku ketahui namanya.
“Siapa tuh, Wa?” tanya
Emi tersenyum penuh arti.
“Apaan, sih? Dia sepupuku.”
Kata Hilwa masih tersipu.
“Serius? Cakep ya.” Rifka
menimpali.
“Naksir, ya?” Ledekku pada
Rifka yang dibalas dengan senyum malu, menyiratkan sebuah perasaan yang
tersembunyi di baliknya.
***
Beberapa kali tanpa sengaja aku berpapasan
dengannya di jam istirahat, dan dia selalu tertawa kecil saat melihatku.
Awalnya kufikir dia orang yang aneh, adakah hal lucu dariku sampai ia tidak
bisa menahan tawanya? Tapi entah pada pertemuan keberapa aku mulai menyukai
cara dia mengalihkan pandangan dariku. Itu terkesan sangat manis, saat itu aku menyukai cara ia tertawa.
***
Kembali di satu siang pada hari senin. Saat itu jam
pelajaran terakhir sedang kosong. Aku dan beberapa teman tetap berada di kelas,
sementara sebagian lain memilih ke kantin untuk mengisi perut yang lapar. Jam
istirahat tadi memang tidak ada yang ke kantin, semuanya sibuk menulis ulang
soal dan jawaban fisika sebanyak sepuluh kali, itu hukuman yang diberikan Pak
Dayat kepada kami karena nilai ulangan harian di kelasku jauh di bawah rata-rata.
Aku sedang membaca sebuah
novel yang baru saja kupinjam dari perpustakaan sekolah. Namun bacaanku terhenti
saat Widi menghampiriku dengan senyum bahagia.
“Eh, Disti...!” panggil
Widi antusias “... kamu tau ndak? tadi aku ketemu sama cowok, manis banget
orangnya. Dia senyum ke aku.”
Kalimat yang dilontarkan
Widi berhasil mengalihkan perhatian semua orang yang masih berada di kelas. Aku
mulai penasaran dengan cowok manis yang dikatakan Widi. Ia pun mengintip dari
balik pintu, “Eh, itu orangnya.” Gumamnya sembari tersipu malu.
Ternyata Cowok yang
dimaksud Widi adalah cowok yang kukagumi akhir-akhir ini, namun sampai
sekarang aku tak kunjung tahu siapa namanya. Entah kenapa dadaku tiba-tiba terasa tidak nyaman, aku tidak tau alasannya. Walau begitu aku tetap menampakkan
raut wajah bahagia.
“Oh, dia sepupunya Hilwa.”
Kataku dengan nada sedatar mungkin.
“Namanya Siapa?” Tanya
Widi.
“Sampai sekarang aku
sendiri tidak tau namanya dia siapa.” Aku kembali ke kursiku dan melanjutkan
membaca novel yang sempat terhenti karena ulah Widi.
“Kira-kira namanya siapa, ya?” Tanya Widi lagi.
Ia terus mengoceh tentang
betapa manisnya senyum cowok itu. Sampai Hilwa kembali dari acara makan
siangnya dan menghampiriku.
“Seriusnya yang lagi baca
novel. Eh, pinjam buku catatan geografi dong, aku ketinggalan catatan.”
Aku menghentikan membaca
novel “Wa, nama sepupu kamu yang cowok itu siapa? Yang sering datang ke sini itu, loh.” tanyaku spontan.
“Oh, si Albie?”
Jawab Hilwa agak ragu.
“Iya. tuh si Widi baru
aja dibikin terpesona sama dia.”
“Eeh ... Serius?”
Sejak hari itu, Widi,
Hilwa dan aku sering membicarakan tentang cowok itu. Dari situlah aku tahu
bahwa ia bernama Albie. Hilwa dengan gamblang membeberkan segala hal tentang
Albie, hingga keburukan terburuk yang ia miliki.
***
Di jam pulang sekolah, Albie tanpa sengaja
lewat di depan aku dan Widi yang sedang menunggu angkot. Widi histeris, ia
benar-benar menyukai cowok itu. Cowok yang membuat aku tidak bisa membencinya,
walau setiap melihatku ia seolah sedang menertawaknku. Dan dia juga yang
membuat Widi begitu antusias hari ini.
Aku berusaha untuk
berfikir jernih, mengambil kesimpulan bahwa perasan ini hanya perasaan kagum
padanya. Ya, aku hanya kagum pada sosoknya yang ramah pada semua orang. Aku
memaksakan senyum saat Widi dan yang lain tersenyum penuh arti melihat Albie.
Walaupun aku berusaha
meyakinkan bahwa perasaanku ini hanyalah rasa kagum semata, tapi tetap saja aku
tidak bisa memungkiri bahwa aku sedikit cemburu. Pilihanku cukup menjadi
pengagum Albie. Widi adalah Widi, dan aku adalah aku. Jika cara Widi mengagumi
seseorang dengan mengutarakannya secara gamblang pada orang banyak, maka aku
cukup memendam dan menikmati rasa ini sendirian. Tidak perlu seluruh dunia
tahu, cukup tuhan yang tahu. Aku teringat kalimat yang banyak diucapkan orang
tentang cinta tak harus memiliki. Lagipula kita masih SMA, perjalanan menggapai
impian masih sangat panjang. Untuk perasaan yang kupunya ini, biarlah menjadi
pemanis masa remajaku.
***
Mei 2016
Kulihat Rifka masih sibuk dengan
berkas-berkas yang dia perlukan untuk lanjut ke Universitas. Dia sangat
yakin bisa lolos. Beberapa teman yang seangkatan denganku juga melakukan hal
yang sama. Masa penuh canda dan tawa sudah selesai, selanjutnya adalah masa
yang penuh dengan perjuangan.
“Disti, kayaknya sudah selesai
semua nih berkas-berkasku.” Rifka memasukkan map berisi berkas penting ke dalam
tasnya.
“Yakin? sudah beres
semua?”
“Sudah, aku harus
cepat-cepat pulang, soalnya sore ini sudah harus pergi ke Surabaya.”
“Duh..., semangatnya.
Semoga impianmu terwujud, ya." Kataku tersenyum.
“Kamu juga.”
Rifka memelukku sebagai
tanda perpisahan. Aku pun melakukan hal yang sama padanya.
“Dah, Disti. Jangan putus kontak sama aku, ya.” Rifka melambaikan tangan ke arahku dan berlalu pergi. Antusiasnya membuatku turut bersemangat meraih mimpi.
***
Waktu telah menunjukkan
pukul 11.21. Aku pun merapikan berkas-berkasku yang baru saja selesai
dilegalisir. Dari kejauhan ku perhatikan lagi sosok Albie yang sedari pagi
sibuk kesana-kemari. 'Mungkin ini kali terakhir aku bisa melihat dia' gumamku
dalam hati.
Aku meninggalkan cinta
pertamaku disini, di sekolah ini. Bersama dengan rintik hujan yang jatuh
perlahan. Cinta pertamaku yang tak pernah diketahui oleh siapapun. Perasaam
yang selama ini kututup rapat-rapat. Selamat tinggal cinta pertamaku, terima
kasih karena telah menghiasi kisah SMA-ku yang suram. Kau adalah kenangan yang
mungkin tidak bisa kulupakan selamanya. Karena adanya dirimu, kisahku menjadi sedikit berwarna.
~END~
Aku suka banget sama yang setiap penulis tuangkan��hanyut n dalem banget����
BalasHapusAku suka banget dengan apa yang dituangkan penulis disetiap ceritanya ๐ญhanyut dan menjiwai sekali๐๐
BalasHapusIkan hiu makan pepaya, i love you teh Yuya ๐
BalasHapus����
BalasHapusSangat menjiwai����
BalasHapus